Membuka Lahan Pertanian dengan Cara Membakar Hutan Menyebabkan

Membuka lahan pertanian dengan cara membakar hutan dapat menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan. Awalnya memang tampak praktis dan murah—tinggal bakar, lalu tanam. Tapi di balik asap itu, ada banyak hal yang ikut hilang: tanah jadi rusak, udara jadi sesak, dan kehidupan kecil di dalam hutan ikut musnah tanpa sempat pamit.

Saya dulu juga pernah berada di titik bingung. Ketika pertama kali dipercaya untuk mengurus lahan yang masih seperti hutan mini, saya sempat tergoda pikiran-pikiran “jalan cepat”. Tapi setelah saya renungi, rasanya nggak tega juga kalau niat bertani justru malah menyakiti alam. Apalagi saya percaya, bertani bukan sekadar menanam—tapi juga menjaga apa yang ada.

Makanya, saya putuskan untuk mulai dari nol. Tanpa membakar. Tanpa merusak. Berat, iya. Tapi pelan-pelan, saya lihat hasilnya. Tanah lebih subur, tanaman lebih sehat, dan yang bikin bahagia: saya bisa ajak Kamu dan teman-teman lainnya duduk santai di kebun tanpa bau asap.

1. Membuka Lahan, Godaan Membakar, dan Kesadaran yang Datang Terlambat

Waktu pertama kali saya dapat amanah untuk mengurus sebidang tanah yang dulunya terbengkalai, jujur saja, muncul satu pikiran yang sangat menggoda: gimana kalau dibakar aja? Biar cepat bersih, tinggal tanam, selesai.

Tapi kemudian saya duduk di bawah pohon nangka—yang sekarang jadi tempat favorit banyak teman saya untuk duduk di ayunan—dan merenung. Membakar memang cara tercepat, tapi apakah itu satu-satunya jalan? Apakah itu cara yang pantas dilakukan oleh orang yang ingin membangun sesuatu yang berdampak baik dan berkelanjutan?

Kamu mungkin juga pernah mengalami dilema ini, apalagi kalau lahan yang diurus bentuknya seperti hutan kecil pribadi: rimbun, lebat, dan penuh misteri (termasuk suara-suara malam yang nggak jelas dari mana asalnya 😅).

Baca juga: Kebun Agrowisata untuk Pemula, Inspirasi Buat Bertani

2. Bahaya Membakar Hutan: Bukan Cuma Asap, Tapi Juga Warisan Masalah

Kebanyakan orang cuma lihat asapnya. Tapi sebenarnya yang rusak bukan cuma udara, melainkan kehidupan. Saat hutan dibakar, rumah bagi berbagai makhluk hidup ikut hilang. Saya jadi ingat seekor burung kecil yang dulu sering muncul di dekat pohon bambu. Setelah area itu dibuka dengan cara yang salah oleh tetangga desa, burung itu tak pernah terlihat lagi.

Belum lagi dampaknya ke tanah. Tanah yang kena bakar mungkin tampak subur di awal, tapi lama-lama akan keras, tandus, dan malas diajak kerjasama. Mirip kayak teman nongkrong yang suka ngopi tapi nggak pernah mau patungan. 😅

Dan jangan lupakan polusi udara. Di beberapa daerah, pembakaran liar bikin kabut asap sampai menutupi matahari. Anak-anak batuk, lansia sesak napas, dan aktivitas jadi terbatas. Ini bukan cuma urusan petani, tapi juga urusan kita semua sebagai penjaga bumi kecil ini.

3. Alternatif Membuka Lahan Tanpa Bakar: Pelan tapi Selamat

Waktu saya mulai membuka lahan sendiri, saya bawa parang dan sabit seadanya. Kerja pelan-pelan, dari pagi sampai sore. Kadang cuma bisa bersihin beberapa meter saja, tapi setiap inci yang saya bersihkan rasanya ada nilai perjuangannya. Nggak ada asap, nggak ada suara api, cuma suara daun kering dan ranting yang dipotong satu per satu.

Kalau Kamu juga lagi ada di titik memulai seperti saya dulu, jangan remehkan cara manual. Memang butuh waktu dan tenaga, tapi hasilnya terasa lebih “halal” dan memuaskan. Dan siapa tahu, seperti yang saya alami, nanti akan datang teman-teman yang penasaran, lalu ikut bantu… atau minimal bawa pisang goreng 😄

Selain cara manual, bisa juga pakai teknik mulsa dari daun-daun kering atau tanaman penutup tanah. Ini bisa menjaga kelembaban, memperbaiki struktur tanah, dan perlahan membersihkan area tanpa harus bakar-bakaran. Lebih sehat buat Kamu, dan jelas lebih sehat buat lingkungan.

4. Mengubah Lahan Jadi Tempat yang Mengundang

Setelah saya berhasil membuka sebagian lahan, saya bikin tempat kecil untuk duduk—ada kursi malas dan ayunan sederhana di bawah pohon nangka. Sederhana banget. Tapi entah kenapa, tempat itu justru yang bikin orang-orang datang.

Beberapa teman yang awalnya cuma mampir jadi sering nongkrong. Ada yang minta kopi, ada yang minta air dingin. Dari situ saya sadar: tempat yang punya suasana nyaman itu lebih menarik daripada kebun yang gersang tapi luas. Dan lahan pertanian, kalau dikelola dengan hati dan keindahan, bisa jadi kebun agrowisata kecil-kecilan seperti yang saya ceritakan juga di artikel saya ini.

Ternyata ketika kita memperlakukan tanah dengan cinta dan kesabaran, alam pun seperti ikut membantu. Suasana jadi enak, teman jadi betah, dan pelan-pelan kebun itu punya “jiwa”.

5. Edukasi dan Contoh: Membuka Mata Lewat Tindakan Nyata

Dari situ, saya jadi makin yakin bahwa membuka lahan tanpa membakar bisa jadi contoh kecil yang berdampak besar. Teman-teman yang awalnya cuma datang buat nongkrong mulai nanya-nanya:
“Eh, ini kok bisa bersih gini tanpa dibakar?”
“Kamu bersihinnya sendirian?”
“Emang gak capek?”

Pertanyaan-pertanyaan itu saya jawab dengan senyum dan cerita. Kadang saya ajak mereka lihat langsung semak-semak yang sedang dibuka. Dan pelan-pelan, mereka mulai paham. Ternyata cara yang ramah lingkungan itu bukan cuma mungkin, tapi juga bisa jadi keren.

Kamu pun bisa mulai dari hal yang kecil. Nggak perlu harus bikin pelatihan atau seminar, cukup tunjukkan lewat tindakan. Alam akan bicara sendiri, dan orang-orang akan mendengar lewat perubahan nyata yang Kamu lakukan.

6. Membakar Itu Instan, Tapi Merusak Itu Lama

Saya tahu, membakar hutan itu seperti jalan pintas. Tapi seperti semua jalan pintas dalam hidup, biasanya ada harga yang mahal di belakangnya. Tanah bisa rusak, ekosistem hilang, dan jangan kaget kalau nanti tanaman Kamu malah nggak tumbuh sehat.

Saya pernah lihat sendiri lahan bekas bakaran yang ditanami. Awalnya sih tumbuh, tapi beberapa bulan kemudian tanahnya jadi keras dan retak-retak. Nggak bisa nyerap air, nggak ada cacing tanah. Tanahnya seolah protes: “Saya lelah dibakar terus.”

Bandingkan dengan lahan saya yang dibuka perlahan, diberi mulsa, dan dijaga kelembabannya. Memang butuh lebih banyak waktu dan tenaga, tapi hasilnya juga terasa lebih segar dan kuat. Kalau Kamu mau pertanian yang tahan lama dan bisa diwariskan, pilih cara yang bersahabat dengan alam.

7. Mengembalikan Nilai Tanah: Bukan Sekadar Bertani, tapi Menyayangi

Tanah itu bukan benda mati. Saya percaya, kalau kita memperlakukan tanah dengan semena-mena, dia juga bisa “ngambek”. Tapi kalau kita perlakukan dia dengan sayang—dijaga, dirawat, diajak kerja sama—hasilnya luar biasa.

Di kebun saya, saya mulai belajar mendengar tanah. Kadang dia cuma minta sedikit air. Kadang minta istirahat. Kadang minta pohon pelindung. Dan semua itu saya pelajari dengan merasakan langsung. Bukan dari teori, tapi dari interaksi sehari-hari.

Kalau Kamu sedang mulai mengurus kebun, coba deh ngobrol diam-diam sama tanahmu. Mungkin kedengarannya aneh, tapi percayalah… tanah akan jawab dengan caranya sendiri. Kadang lewat tunas kecil yang muncul, kadang lewat suara gemerisik angin yang lain dari biasanya.

8. Menjadi Inspirasi Lewat Perbuatan

Tanpa saya sadari, orang-orang mulai cerita tentang kebun saya. Ada yang bilang,
“Itu kebun yang gak dibakar tuh, tapi rapi.”
Ada juga yang ngajak temannya untuk lihat,
“Kita main ke kebun si anu yuk, katanya adem dan bisa duduk-duduk.”

Padahal saya nggak pernah niat jadi inspirasi. Saya cuma mau bantu teman yang punya tanah kosong dan nggak kepake. Tapi ternyata, kalau kita jalan dengan niat baik dan cara yang sehat, hal itu bisa menular. Orang-orang ikut semangat. Anak-anak muda mulai mikir,
“Oh, ternyata bertani bisa keren ya.”

Dan di situlah, tanpa sadar, Kamu jadi bagian dari perubahan. Bukan lewat teori. Bukan lewat poster. Tapi lewat contoh nyata.

Penutup: Kalau Bisa Ramah Alam, Kenapa Harus Bakar?

Saya nggak akan bilang membuka lahan itu gampang. Apalagi kalau Kamu sendiri yang ngerjain. Tapi saya bisa bilang, ada kepuasan yang nggak bisa dibeli saat Kamu berhasil menata kebun kecilmu tanpa menyakiti bumi.

Kebun agrowisata yang saya rawat sekarang memang masih sederhana. Tapi dari situlah saya belajar banyak: tentang ketekunan, tentang sabar, tentang menghargai alam. Dan yang paling penting—tentang bagaimana cara hidup berdampingan dengan tanah, bukan menguasainya.

Membakar hutan mungkin cepat. Tapi membangun kebun dengan hati akan tumbuh lama, dan tumbuh dalam.

Ayo Mulai dengan Tidak Membuka Lahan Pertanian dengan Cara Membakar Hutan dapat Menyebabkan Kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan.

Kalau Kamu sedang punya lahan tidur, atau ingin mulai bertani, cobalah mulai dengan langkah kecil yang ramah lingkungan. Jangan tergoda membakar. Coba tebas pilih, coba buat kompos sendiri, atau cukup bersihkan bagian yang Kamu butuhkan dulu. Percaya deh, Kamu akan terkejut melihat hasilnya.

Dan kalau Kamu ingin lihat contoh nyatanya, mampir aja ke tulisan saya tentang pengalaman pertama kali membuka kebun agrowisata. Di sana, saya cerita lebih banyak soal proses awal saya membuka lahan yang dulunya dianggap nggak berguna.

Yuk, mulai dari sekarang, kita bertani tanpa membakar, demi tanah yang lebih sehat dan masa depan yang lebih hijau 🌱

Scroll to Top